SORAK SORAI PARTISIPASI SANTRI MENYALAKAN GELORA KEMERDEKAAN INDONESIA

ARROHMAH.CO.ID — Sabtu (17/8), Pondok Pesantren Ar-Rohmah Putri kampus 1, Malang turut berpartisipasi merayakan kemerdekaan Republik Indonesia ke-79. Serangkaian kegiatan diawali dengan Upacara Pengibaran Bendera Merah Putih yang bertempat di Lapangan Saudah. Upacara dihadiri oleh segenap santri SMP-SMA Ar-Rohmah Putri beserta seluruh ustadz dan ustadzah. Dimulai pada pukul 07.15, upacara berlangsung khidmat dengan Ustadz Alimin Mukhtar sebagai Amirusy Syariyah. Para petugas Upacara Kemerdekaan Republik Indonesia adalah perwakilan santri SMP-SMA Ar-Rohmah Putri kelas 9 dan 12. Adapun pasukan pengibar bendera merupakan santri anggota Departemen Jasadiyah masa jabatan 2023/2024. Ar-Rohmah Putri Voice atau tim paduan suara Ar-Rohmah Putri turut memeriahkan upacara dengan membawakan lagu-lagu daerah Indonesia. “Melihat realita dan kenyataan, cita-cita Indonesia yang tertuang dalam UUD 1945 masih harus melalui proses yang panjang. Program Indonesia Emas 2045, berisi banyak rumusan cita-cita yang harus diperjuangkan demi kesejahteraan. Untuk mencapai hal-hal tersebut harus dimulai dari komponen-komponen pada masa itu, yaitu kalian. Kalianlah penentu bangsa ini. Mulai hari ini cita-cita besar harus dibangun dengan kesungguhan kalian semua. Sebagai salah satu bentuk rasa syukur kita adalah dengan memaksimalkan kesempatan untuk digunakan. Dan bagi kalian adalah untuk menempuh pendidikan sebaik mungkin,” pesan Ustadz Alimin Mukhtar. Usai upacara bendera, kegiatan dilanjutkan dengan serangkaian lomba-lomba. Santri SMA Ar-Rohmah Putri kelas 10, 11, dan 12 berpartisipasi aktif dalam lomba LKBB kreasi dan lomba kekompakan. Adapun para ustadzah juga mengikuti lomba berupa paduan suara dan permainan-permainan tradisional. “Tujuan diadakannya game-game kekompakan selain untuk menyenangkan para santri ialah untuk mempererat tali persaudaraan antar santri. Dari permainan-permainan ini juga, para santri diharapkan mampu mengambil hikmah dari segala sesuatu yang terjadi. Karena orang yang cerdas adalah orang yang pasti bisa mengambil hikmah dari banyaknya hal yang terjadi. Begitu juga dengan lomba ustadzah. Karena banyaknya ustadzah baru, lomba-lomba tersebut diadakan agar bisa lebih mengenal satu sama lain serta menjaga komunikasi agar tetap baik,” jelas Miss Putry selaku ustadzah kesiswaan SMA Ar-Rohmah Putri. Meskipun lelah, para santri nampak begitu bersemangat. Hal tersebut dapat dilihat dari keaktifan dan antusiasme dalam mengikuti lomba-lomba yang disiapkan. Para santri berharap selain sebagai sarana bersenang-senang, kegiatan ini dapat pula membangkitkan semangat kebangsaan dan perjuangan para santri. (I’AR: Putri Dzakiyyah & Nisrina Fazila)
WISUDA 2024: LULUSKAN SANTRI HEBAT BERMASYARAKAT

Ar-Rohmah.co.id — Ahad (9/6), SMP-SMA Ar-Rohmah Putri Islamic “Boarding School” sukses menggelar prosesi wisuda bagi 186 santri SMP angkatan 15, 138 santri SMA angkatan 12, 8 santri dauroh angkatan 6, dan 34 Mahasantri Ma’had Hidayatullah Batu (Mahaba) angkatan pertama. Bertempat di Aula Al-Hambra, kompleks Pesantren IIBS Ar-Rohmah Putri Kampus 2, Wisuda dengan nuansa merah muda ini dihadiri oleh segenap wali santri yang turut bangga dan berbahagia. Tamu Istimewa Wisuda tahun ini turut mengundang tamu istimewa seperti Guru Besar Universitas Negeri Malang Prof. Dr. Muslihati, S.Ag., M,Pd dan Bendahara YPI Ar-Rohmah Putri Kyai Haji Abdullah Warsito. Jajaran petinggi dan direksi YPI Ar-Rohmah Putri kampus 1, Ar-Rohmah Putri kampus 2, Ar-Rohmah Tahfidz, dan Ma’had Hidayatullah Batu juga hadir menyaksikan prosesi wisuda tahun ini. “Selamat kepada para santri yang hari ini sukses melangsungkan wisuda. Tapi ingat, lulus bukan berarti selesai atau berhenti belajar. Karena sesuai dengan Hadist Rasulullah, belajar itu mulai dari buaian ibu hingga nanti ke liang lahat. Ananda semua lulus dari lembaga pendidikan yang luar biasa, maka teruslah belajar. Di luar nanti, kalian akan menghadapi kenyataan di mana di situlah kalian membutuhkan ilmu dan keteguhan iman, Islam yang diajarkan oleh ustadz-ustadzah yang dapat dijadikan bekal untuk menghadapi berbagai godaan itu,” sambut Prof. Dr. Muslihati, S.Ag., M,Pd. Rangkaian Acara Acara dimulai tepat pada pukul 07.30 dengan persembahan tari saman yang dibawakan oleh 39 santri kelas 8, 10, dan 11. Ustadz Budi selaku pembawa acara menyampaikan bahwa selain menjadi salah satu media dakwah yang berasal dari Provinsi Aceh, tari saman ini memiliki tujuan untuk menjalin tali silaturahmi juga persaudaraan. Acara dilanjutkan dengan pembacaan tata tertib wisuda oleh Ustadzah Ulfa, selaku pembawa acara, serta pembacaan ayat suci Al-Quran oleh perwakilan Mahasantri Mahaba. Setelah itu, menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya dan Mars Pemudi Hidayatullah yang dipandu oleh Ar-Rohmah Voice (Arvo). “Alhamdulillah, wisuda ini berjalan dengan lancar. Meskipun agendanya lebih padat dibanding kampus yang lain, dari orang tua, wisudawati, dan panitia merasa sangat puas. Meskipun banyak kendala terkait waktu, Alhamdulillah masih bisa teratasi. Harapan ustadzah, lulus bukanlah akhir dari perjuangan. Melainkan awal sebuah perjuangan menghadapi kehidupan masyarakat. Ladang perjuangan yang sesungguhnya ketika menghadapi banyak tantangan di luar sana. Semoga bisa tetap istiqomah dan sukses.” pesan Ustadzah Nanda Primadiani selaku Koordinator Jenjang Kelas 12 sekaligus Sekretaris Pelaksana Wisuda tahun ini. Prosesi wisuda berjalan khidmat dengan suasana haru yang turut menyelimuti. Wisuda ini tidak hanya menandakan kelulusan namun juga menjadi bukti perpisahan para santri yang sukses menamatkan pendidikan bersama selama kurang lebih tiga hingga tujuh tahun di pesantren. Para santri kelas 9 dan 12 menutup prosesi wisuda dengan kesan dan pesan yang diberikan oleh ananda Amrina Amalia, selaku Ketua Umum Gerakan Pandu Hidayatullah 2022/2023, serta persembahan spesial kepada para ustadzah dan orang tua. (I’AR: Nisrina Fazila)
Lima Ayat Yang Menakjubkan

ARROHMAH.CO.ID – Al-Hafizh Said bin Manshur al-Khurasani menyitir sebuah riwayat yang menakjubkan dalam kitabnya, as-Sunan. Riwayat ini statusnya hasan li ghairihi, yakni sebetulnya memiliki sanad dhaif (lemah) namun meningkat menjadi kuat karena didukung oleh jalur periwayatan lainnya. Disebutkan bahwa Ibnu Masud berkata, ” Sesungguhnya di dalam (surah) an-Nisa terdapat lima ayat, dimana dunia dan seisinya ini tidak akan menyenangkanku dibanding dengan kelimanya. Aku sungguh tahu bahwasannya para ulama ketika membacanya mereka pasti mengetahuinya.” Mungkin, ini terdengar seperti gurauan. Sebab, lima ayat itu nilainya begitu menakjubkan. Tetapi, Ibnu Masud adalah salah seorang seorang Sahabat yang menjadi guru dan rujukan dalam bacaan Al-Quran. Beliau pasti tidak bercanda dengan pernyataannya. Rasulullah pernah bersabda, “Barangsiapa ingin membaca Al-Quran yang segar sebagaimana ia diturunkan, maka bacalah menurut (tatacara dan sikap) bacaan Ibnu Ummi Abd.”(Riwayat Ibnu Majah. Hadits shahih). Yang dimaksud Ibnu Ummi Abd tidak lain adalah Ibnu Masud. Lalu, apa sajakah kelima ayat dalam surah an-Nisa itu? Pertama, Ayat ke-31 “Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga).” Artinya, jika kita berharap Allah menghapus dan memaafkan kesalahan-kesalahan kecil kita, maka jauhi dan tinggalkan dosa-dosa besar. Lalu, apakah dosa besar itu? Dalam Tafsir Fathul Qadir, Imam Syaukani mengutip pernyataan Ibnu Masud, Dosa-dosa besar adalah semua yang dilarang oleh Allah dalam surah (an-Nisa) ini, sampai ayat ke-33. Ibnu Abbas berkata, Dosa besar adalah setiap dosa yang telah divonis oleh Allah dengan neraka, kemurkaan, laknat, atau siksaan. Kedua, Ayat ke-40. “Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar dzarrah, dan jika ada kebajikan sebesar dzarrah, niscaya Allah akan melipat-gandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar.” Allah Maha Adil, dan tidak mungkin berbuat aniaya. Nabi bersabda, “Kelak Allah akan membebaskan salah seorang dari umatku di hadapan banyak orang. Digelarlah untuknya 99 gulungan catatan, masing-masing sepanjang mata memandang, lalu Allah bertanya padanya, “Apakah engkau mengingkari sedikit saja dari semua ini? Apakah para malaikat pencatat amal-Ku telah menzhalimimu?” Ia menjawab, “Tidak, wahai Tuhanku.” Allah bertanya, “Apakah engkau memiliki alasan atau kebaikan.” Maka, diam tanpa dayalah orang itu, lalu menjawab, “Tidak, wahai Tuhanku.” Allah berfirman, “Sebaliknya, sebenarnya engkau mempunyai satu kebaikan di sisi Kami. Tidak ada kezhaliman sedikit pun atas dirimu di hari ini. Maka, dikeluarkanlah satu kartu (catatan yang tertulis) padanya: Asyhadu an la ilaha illallah wa asyhadu anna muhammadan abduhu wa rasuluhu. Lalu, semua catatan itu diletakkan pada satu sisi daun timbangan, dan selembar kartu itu pada daun timbangan lainnya. Maka, terangkatlah gulungan-gulungan catatan tersebut dan lebih berat yang selembar itu.” (Riwayat Ahmad, al-Hakim dan at-Tirmidzi, dari Abdullah bin Amru bin al-Ash. Hadits shahih). Ketiga, Ayat ke-48. Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya…. Syirik adalah dosa tak termaafkan. Jika seorang hamba mati dan menjumpai Allah dalam keadaan musyrik, maka murka-Nya tak terpadamkan. Ia pasti masuk neraka selama-lamanya. Imam al-Alusi meriwayatkan asbabun nuzul ayat ini dalam tafsirnya: bahwa tatkala turun ayat, Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Az-Zumar: 53), maka Nabi berdiri diatas mimbar dan membacakannya. Ada seseorang yang berdiri dan bertanya, “Bagaimana dengan menyekutukan Allah (syirik)?” Maka, beliau pun diam. Orang itu kembali berdiri dan menanyakan hal yang sama, dua atau tiga kali, sementara beliau tetap diam. Maka, turunlah surah an-Nisa: 48 diatas. Keempat, Ayat ke-64. “…Sesungguhnya jika mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” Ayat ini berkenaan dengan beberapa orang yang mengadukan perkara kepada Rasulullah. Namun, setelah diberi putusan, mereka justru tidak puas dan ingin mencari hukum lain yang bisa memenuhi selera nafsunya. Allah menegur keras sikap tersebut, namun menjanjikan jalan keluar, yaitu: jika mereka mau bertaubat dan mohon ampun kepada Allah, lalu mendatangi Rasulullah dan meminta agar dimaafkan serta dimohonkan ampunan, maka pasti Allah bersedia menerima mereka kembali. Kelima, Ayat ke-110. “Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia mohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Penyayang.” Dalam Tafsir Zaadul Masir, Imam Ibnul Jauzi menyatakan bahwa yang dimaksud kejahatan disini adalah syirik, mencuri atau dosa-dosa lain secara umum. Sedangkan menganiaya dirinya adalah menuduh orang lain tanpa bukti atau dosa-dosa lain di bawah syirik. Sesungguhnyalah, kita tidak pernah terlepas dari kesalahan dan dosa. Maka, inilah jalan-jalan emas yang diberikan Allah. Tentu saja, mendapatkan jaminan ampunan dari Allah nilainya akan jauh lebih baik dari dunia dan seluruh isinya. Wallahu alam. [M. Alimin Mukhtar]
Manusia Terbaik Menurut Islam

Setiap tahun, biasanya kita akan mendengar pengumuman tokoh terbaik versi lembaga A, atau figur paling berpengaruh menurut majalah B. Belum lagi berbagai kontes dan kompetisi yang akan menghasilkan “manusia-manusia terbaik”, menurut versi dan kriteria yang beraneka ragam. Sejenak, mari kita bertanya, apakah Islam tidak menjelaskan siapa manusia-manusia terbaik itu, sehingga kita layak berlomba-lomba menjadi – paling kurang – salah satunya? Lalu, siapakah manusia-manusia terbaik menurut Islam itu? Inilah sebagian diantaranya. Pertama, orang yang belajar dan mengajarkan Al-Qur’an. Diriwayatkan dari ‘Utsman: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Orang terbaik diantara kalian adalah yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya.” (Hadits riwayat Bukhari). Inilah Abu ‘Abdirrahman as-Sulami, seorang tabi’in yang merasa terhormat dan bangga telah duduk di masjid mengajarkan Al-Qur’an selama 40 tahun. Adakah kita termasuk kelompok ini? Jika bukan, bagaimana dengan manusia terbaik berikutnya? Kedua, orang yang paling baik dalam melunasi hutangnya. Abu Hurairah bercerita, bahwa ada seseorang yang mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk menagih hutang. Namun, ia bersikap kasar kepada beliau. Sebagian sahabat pun hendak menghajarnya, namun dicegah oleh beliau. Beliau bersabda, _“Biarkan dia, sebab orang yang mempunyai hak memang berhak berbicara. Berikan kepadanya unta yang seusia dengan unta (yang kupinjam) darinya.” Para sahabat menjawab, “Wahai Rasulullah, kami tidak menemukan kecuali unta yang lebih baik dari unta (yang Anda pinjam) darinya?” Beliau menjawab, “Berikan saja itu padanya, sebab orang terbaik diantara kalian adalah yang terbaik dalam melunasi hutangnya.” (Riwayat Bukhari dan Muslim, redaksinya milik Bukhari). Lihatlah Nabi kita itu, betapa lapang dada dan pemurahnya! Beliau dikasari umatnya, namun tidak mengizinkan sahabat-sahabatnya yang hendak menghajar orang itu. Justru beliau membayar hutangnya dengan nilai yang lebih baik dan lebih besar! Tentu ini tidak ada hubungannya dengan rentenir yang mengejar-kejar pedagang kecil di pasar-pasar dengan bunga pinjaman yang mencekik leher. Sebab yang terakhir ini adalah riba yang diharamkan, sementara apa yang dicontohkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah kelapangdadaan seorang pemimpin, ketulusan dalam memberi, dan komitmen untuk menjaga hak-hak orang lain. Apakah kita bisa seperti ini? Jika belum, bagaimana dengan manusia terbaik berikutnya? Ketiga, orang yang bisa dipercayai kebaikannya dan tidak dikhawatirkan kejahatannya. Abu Hurairah menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berdiri dan berbicara di hadapan sekelompok orang yang duduk, “Maukah kalian kuberitahu siapa orang terbaik diantara kalian, dibandingkan orang terburuk?” Mereka diam tidak menjawab, dan beliau mengulangi perkataannya sampai tiga kali. Lalu, ada salah seorang dari mereka yang berkata, “Mau, wahai Rasulullah. Beritahu kami siapa yang lebih baik diantara kami dibanding yang buruk.” Beliaupun bersabda, “Orang terbaik diantara kalian adalah yang bisa diharapkan kebaikannya dan tidak dikhawatirkan kejahatannya, sebaliknya orang terburuk diantara kalian adalah yang tidak bisa diharapkan kebaikannya dan (kalian) tidak merasa aman dari kejahatannya.” (Hadits hasan-shahih, riwayat Tirmidzi). Siapakah kita di mata orang-orang di sekitar kita? Apakah mereka merasa aman dan percaya pada keselamatan diri dan hartanya tatkala berada di dekat kita; saat berjumpa dan berbicara dengan kita; ketika berinteraksi dan berurusan dengan kita? Atau sebaliknya, mereka selalu diliputi ketakutan dan terancam sekedar mendengar kita akan datang; dan langsung berputus asa saat kita benar-benar telah hadir? Hamba Allah macam apa kita ini jika tidak bisa menciptakan rasa aman bagi sekelilingnya?! Keempat, orang yang memperlakukan istrinya dengan baik. Ummul Mu’minin ‘Aisyah berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Orang terbaik diantara kalian adalah yang terbaik dalam memperlakukan istrinya. Dan aku adalah yang terbaik diantara kalian dalam memperlakukan istrinya.” (Hadits shahih, riwayat Tirmidzi, bagian akhirnya diringkas). Maka, para ulama’ selalu memperhatikan dengan teliti siapa calon suami dari anak-anak perempuannya. Sebagian mereka memberitahu putrinya, mengapa menikahkannya dengan seorang calon suami yang dipilih karena keshalihan dan agama, bukan yang lain. Dikatakannya, “(Orang yang shalih itu), jika ia mencintaimu maka ia akan memuliakanmu, namun jika ia membencimu maka ia tidak akan menzhalimimu.” Ya, keshalihannya akan menjadi kendali yang memacunya berbuat baik bila hatinya ridha, namun segera mengekangnya agar berhati-hati ketika marah. Betapa besar kerusakan yang ditimbulkan oleh suami yang bejat dan rusak moralnya; yang tidak beragama dan fasiq (ahli maksiat). Bisa jadi, di rumah ia menzhalimi istrinya, sementara di luar sana ia menggoda istri orang lain. Tercelalah para suami yang di siang hari memukuli istrinya seperti menyiksa budak, namun di malam hari ia menggaulinya! Inilah sebagian dari manusia-manusia terbaik yang ditunjukkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Masih banyak yang lain, yang dapat kita temukan dalam kitab-kitab hadits. Maka, seharusnya kita tidak berkecil hati jika tidak dinominasikan sebagai “yang terbaik” dalam kontes-kontes buatan manusia. Bila kita belum bisa menjadi pengkaji atau guru Al-Qur’an, berusahalah menjadi orang yang melunasi pinjaman dan kredit dengan baik. Atau, berusahalah menjadi orang yang bisa dipercayai kebaikannya dan tidak dikhawatirkan kejahatannya. Atau, jadilah sorang suami yang baik. Semoga Allah membimbing agar salah satu, atau sebagian besar sifat-sifat baik itu, terpatri dalam jiwa kita. Amin. (M. Alimin Mukhtar)
Kapankah Seorang Muslim Beristirahat?

Di dalam Al-Qur’an Al-Karim Allah Ta’ala berfirman: وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ Artinya: “Dan beribadahlah engkau kepada Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (yakni kematian).” (QS. Al-Hijr: 99). Ayat ini menunjukkan kepada kita bahwa setiap manusia yang hidup di dunia wajib beribadah hanya kepada Allah tanpa mengenal letih, bosan dan istirahat atau berhenti darinya. Ia wajib tabah dan sabar dalam menghadapi berbagai macam ujian dan cobaan. Sabar dalam menjalankan ketaatan kepada Allah Ta’ala, serta sabar dalam menjauhi dosa dan maksiat kepada-Nya sehingga kematian menjemputnya dan memutuskannya dari segala kenikmatan dan kelezatan dunia. سئل الإمام أحمد بن حنبل : متى الراحة يا إمام ؟ فأجاب : عند أول قدم تضعها في الجنة . » Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah pernah ditanya: “Wahai Imam, kapankah waktu istirahat itu?” Beliau jawab: “(istirahat yang sesungguhnya ialah) pada saat engkau pertama kali menginjakkan kakimu di dalam Surga.” Seorang penyair yang bijak mengatakan: ولو أنا إذا متنا تُركنا ** لكان الموت راحة كل حي “Sekiranya bilamana kita telah mati lalu dibiarkan (begitu saja tanpa perhitungan dan pembalasan amal), niscaya kematian itu menjadi waktu istirahat bagi setiap orang yang hidup. ولكنا إذا متنا بُعثنا ** ونُسأل بعدها عن كل شي Akan tetapi (kenyataannya), bilamana kita telah mati, kita akan dibangkitkan (dari alam kubur kita), dan sesudah itu kita dimintai pertanggungjawaban (oleh Allah) atas segala hal (yang pernah kita lakukan di dunia).” Maka dari itu, marilah kita bersungguh-sungguh dalam memanfaatkan sisa umur kita di dunia ini dengan berbuat kebaikan dan ketaatan kepada Allah dan menjauhi setiap dosa dan maksiat hingga kematian menjemput kita dan memisahkan kita dengan orang-orang yang sangat kita cintai. Demikian faedah ilmiyah dan mau’izhoh hasanah yang dapat kami sampaikan pada hari ini. Semoga bermanfaat bagi kita semua.
Doa Nabi Ibrahim, Meminta Agar Amalan DIterima

Doa adalah senjata kaum muslim. Oleh karenanya, hendaknya setiap muslim memahami bacaan-bacaan doa. Salah satunya meminta agar Allah menerima amalan kita, sesuai dengan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam ajarkan. رَبَّنَا تَقَبَّلۡ مِنَّا ؕ اِنَّكَ اَنۡتَ السَّمِيۡعُ الۡعَلِيۡمُ Rabbanaa taqabbal minnaa innaka Antas Samii’ul Aliim Artinya: “Ya Tuhan kami, terimalah (amal bakti) dari kami. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” Doa ini merupakan potongan dari QS. Al-Baqarah: 127 yang bunyi lengkapnya وَاِذۡ يَرۡفَعُ اِبۡرٰهٖمُ الۡقَوَاعِدَ مِنَ الۡبَيۡتِ وَاِسۡمٰعِيۡلُؕ رَبَّنَا تَقَبَّلۡ مِنَّا ؕ اِنَّكَ اَنۡتَ السَّمِيۡعُ الۡعَلِيۡمُ Wa idz yarfa’u Ibraahiimul qawaa’ida minal Baiti wa Ismaa’iilu Rabbanaa taqabbal minnaa innaka Antas Samii’ul Aliim Artinya: Dan (ingatlah) ketika Ibrahim meninggikan pondasi Baitullah bersama Ismail, (seraya berdoa), “Ya Tuhan kami, terimalah (amal) dari kami. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui”. Tafsir Dan ingatlah ketika Ibrahim meninggikan fondasi Baitullah, yakni Kakbah yang sudah ada sejak zaman Nabi Adam, bersama putranya, Ismail, seraya berdoa, “Ya Tuhan kami, terima lah amal saleh dan permohonan dari kami. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mendengar permohonan hamba-hamba-Mu, Maha Mengetahui keadaan mereka QS. Al-Baqarah: 127 Allah Subahanahu wa Ta’ala mengingatkan orang-orang Arab bahwa yang membangun Baitullah itu adalah nenek moyang mereka yang bernama Ibrahim dan putranya Ismail. Ibrahim adalah nenek moyang orang-orang Arab melalui putranya Ismail. Sedangkan orang Israil melalui putranya Ishak. Seluruh orang Arab mengikuti agama Ibrahim. Penggambaran pada ayat ini, yaitu bahwa Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail membangun Baitullah dengan tujuan untuk beribadah kepada Allah semata, sebagai pengingat bagi mereka dan juga generasi mendatang. Setelah Ibrahim dan Ismail selesai meletakkan fondasi Ka’bah, mereka berdua berdoa: “Terimalah dari kami”, (maksudnya ialah terimalah amal kami sebagai amal yang saleh, ridailah dan berilah pahala …) “Allah Maha Mendengar” (maksudnya: Allah Maha Mendengar doa kami), dan “Allah Maha Mengetahui” (maksudnya: Allah Maha Mengetahui niat-niat dan maksud kami membangun dan mendirikan Ka’bah ini). Pemahanan dari ayat tersebut adalah bahwa menjadi sunah bagi kita untuk berdoa dan menyerahkan segala amal kepada Allah setelah selesai mengerjakannya. Dengan penyerahan itu berarti tugas seorang hamba ialah mengerjakan amal-amal saleh karena Allah, dan Allah-lah yang berhak menilai amal itu dan memberinya pahala sesuai dengan penilaian-Nya. Ayat tersebut juga memperlihatkan bahwa Nabi Ibrahim dan putranya, Nabi Ismail, berdoa kepada Allah setelah menyelesaikan amal saleh dengan niat dan tujuan yang tulus semata-mata untuk Allah. Maka dari itu, bentuk perbuatan yang dilakukannya tersebut diyakini pasti diterima Allah. (Sumber Tafsir: Kemenag)
Al Qur’an Sebagai Obat Penyakit Lahir dan Batin

Salah satu nama Alquran adalah asy-Syifa yang berarti obat penyembuh. Hal ini seperti diutarakan As-Sa’di dalam kitabnya, Taisir al-Karim ar-Rahman fi Tafsir Kalam al-Manan, bahwa Alquran adalah penyembuh bagi semua penyakit hati. Baik berupa syahwat yang menghalangi manusia untuk taat kepada syariat atau syubhat yang mengotori iman. Dalam surat al-Isra’ ayat 82, Allah Swt berfirman: وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاء وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ “dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi obat penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman”. Para ulama berbeda pendapat mengenai maksud dari kata “syifa’ / obat” dalam ayat tersebut. Pendapat pertama mengartikan obat dalam ayat tersebut sebagai obat yang berkenaan dengan penyakit hati, menghilangkan tirai kebodohan dan menghapus keraguan akan kebesaran tanda-tanda kekuasaan-Nya. Pendapat kedua, al-Qur’an sebagai obat penawar penyakit lahir seperti sakit kepala, infeksi dan lain sebagainya. Berikut ini beberapa argumen yang menguatkan pendapat kedua. Pertama, hadits-hadits Nabi tentang berobat dengan ayat al-Qur’an Terdapat sejumlah hadis yang menjelaskan ihwal berobatnya Rasulullah dengan menggunakan ayat al-Qur’an. Di antaranya hadis riwayat at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan al-Nasai, bahwa mula-mula Rasulullah melindungi diri dari segala penyakit dan serangan musuh dengan bacaan ta’awwudz dan beberapa kalimat dzikir. Namun setelah turunnya surat al-Falaq dan al-Nas, beliau mencukupkan dengan kedua surat tersebut dan meninggalkan selainnya. Sahabat Abu Sa’id al-Khudri pernah menyembuhkan seseorang yang terkena sengatan ular dengan bacaan ayat “Alhamdu lillahi Rabbil ‘alamin” sebanyak tujuh kali. Kedua, berdasarkan kaidah ushuliyyah Kaidah yang populer di kalangan pakar ushul fiqh mengatakan: اِنَّ الْكَلَامَ اِذَا احْتَمَلَ التَّأْكِيْدَ أَوِ التَّأْسِيْسَ فَحَمْلُهُ عَلَى الثَّانِيْ أَرْجَحُ “Pembicaraan apabila memungkinkan mengarah kepada pengukuhan (substansi yang sudah pernah disampaikan) atau mendasari (substansi baru yang belum pernah tersampaikan), maka mengarahkannya kepada yang kedua adalah lebih unggul”. Dalam konteks ini, mengarahkan QS al-Isra’ ayat 82 kepada obat penyakit lahir lebih utama sebagai informasi baru yang belum pernah disampaikan sebelumnya. Hal ini lebih baik ketimbang mengarahkannya kepada pemahaman al-Qur’an sebagai obat penyakit batin yang sudah banyak dijelaskan ayat-ayat lain. Ketiga, berdasaran kaidah nahwiyyah Dalam ayat di atas, kata “syifa’; obat” dan “rahmat” dirangkai jadi satu dengan penghubung huruf ‘athaf yakni “wawu (yang secara literal merupakan kata sambung yang bermakna “dan”). Rahmat yang dimaksud dalam ayat mencakup obat dari segala penyakit hati. Dalam kaidah ilmu nahwu, penggabungan satu kata dengan yang lain dengan penghubung huruf athaf wawu menunjukan perbedaan makna kedua kata tersebut. Bila kata “rahmat” diartikan obat penyakit batin, seharusnya kata “syifa’, obat” diartikan sebagai obat penyakit lahir, agar keduanya menunjukan arti yang berbeda sebagai pengamalan dari kaidah nahwu di atas. Keempat, berdasarkan kaidah Manthiqiyyah-silogisme Berdasarkan fakta yang berulang kali teruji kebenarannya dari sejak masa Rasulullah, Sahabat, Tabi’in hingga kurun setelahnya,menunjukan bahwa al-Qur’an dapat mengobati penyakit racun,gila, luka dan penyakit lahir lainnya. Dalam disiplin ilmu manthiq dikatakan: “Sesungguhnya beberapa eksperimen yang telah teruji kebenarannya termasuk jenis berita/proporsi yang berfaidah yakin”. Ibnul Qayyim dalam kitabnya, Zad al-Ma’ad, menjelaskan, Alquran adalah penyembuh yang sempurna dari seluruh penyakit hati dan jasmani, demikian pula penyakit dunia dan akhirat. Tidak setiap orang diberi keahlian dan taufik untuk menjadikannya sebagai obat. Jika seorang yang sakit konsisten berobat dengannya dan meletakkan pada sakitnya dengan penuh kejujuran dan keimanan, penerimaan yang sempurna, keyakinan yang kukuh, dan menyempurnakan syaratnya, niscaya penyakit apa pun tidak akan mampu menghadapinya. Kepada sahabat yang sakit, Nabi kerap kali berpesan, Bagi kalian ada obat penyembuh, yakni madu dan Alquran. (HR Ibnu Majah dan al-Hakim). Sebagai asy-Syifa, orang beriman diimbau banyak membaca Alquran, karena ia adalah obat penyembuh
Anak Terindikasi Jadi Korban atau Pelaku Bullying? Begini Saran Ahli Psikologi

Seorang siswa SMP di Kota Batu (Jatim) tewas karena dianiaya oleh teman sekelasnya, Jumat (31/05/2024). Pelaku merasa jengkel karena korban dinilai enggan membantu pengerjaan tugas sekolah. Beberapa hari sebelumnya, mencuat pula di pemberitaan media massa tentang seorang siswi SMP di Bogor (Jabar) yang mengalami bullying (perundungan). Pelakunya diduga sesama murid SMP dari sekolah lain, diduga dipicu persoalan pacaran. Kejadian serupa banyak terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Sebagai gambaran, di Sumedang (Jabar) saja, selama kurun waktu tahun ajaran 2023/2024, hingga Mei 2024 tercatat ada 56 kasus perundungan di tingkat pelajar. Demikian data yang dihimpun oleh Dinas Pendidikan setempat (Detik.com, 01/06/2024). Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat ada sekitar 3.000 kasus perundungan di Indonesia sepanjang tahun 2023. Hampir separuhnya terjadi di lembaga pendidikan, termasuk di pesantren. Mengapa perundungan anak semakin marak? Apa yang semestinya dilakukan oleh orangtua, guru, sekolah, hingga aparat keamanan? Penyebab Perundungan Dosen Psikologi dari Universitas Brawijaya, Ilhamuddin Nukman, mengungkap beberapa penyebab terjadinya perundungan, utamanya di kalangan anak-anak. “Bullying disebabkan karena adanya relasi kuasa yang tidak seimbang antara pelaku dan korban. Pelaku merasa memiliki kuasa (apapun bentuknya), bisa berupa senioritas, kekuatan finansial, kekuatan politis, kekuatan relasi, dan sebagainya,” kata Ilham –panggilan akrabnya—kepada hidayatullah.com. “Jika perasaan kuasa ini tidak dibatasi, maka mereka akan berasumsi tidak memiliki hambatan untuk melakukan bullying. Apalagi jika ada pembiaran dari orang-orang yang seharusnya mengawasi para pelaku maupun korban. Misalnya orangtua malah melindungi atau membenarkan perilaku kekerasan anaknya, hanya menganggap itu sebagai kenakan anak-anak saja. Pihak sekolah tidak tegas dalam mendisiplinkan atau menghukum pelaku. Masyarakat ada kecenderungan mengafirmasi perilaku bullying, dan malah menyalahkan korban. Sedangkan secara hukum, kurang cepatnya penanganan kasus bullying,” jelas Ketua Asosiasi Psikologi Islam Jawa Timur ini. Jika Anak jadi Korban Karena begitu maraknya, bisa jadi anak-anak kita juga mengalaminya. Jika demikian, maka Ilham menganjurkan harus ada tindakan korektif, bukan lagi preventif (pencegahan). Yang pertama harus dilakukan, “Orangtua atau guru harus bisa mengidentifikasi ciri-ciri fisik dan mental yang dialami korban. Jika ada perubahaan yang signifikan, maka harus segera ditangani, ditanya, dan dikonirmasi situasinya,” pria kelahiran Bima (NTB) ini menjelaskan. Ada beberapa ciri yang bisa dikenali, antara lain: Perasaan takut yang berlebihan yang tidak pernah dialami sebelumnya, menarik diri dari pergaulan dengan teman-temannya, murung, dan emosional. Selanjutnya, perlu diidentifikasi sejauh mana efek psikologisnya, seberapa berat tekanan yang dialami, seberapa komplikasi hambatan psikologisnya, apakah korban menimbulkan gejala traumatis atau tidak, dan hal lainnya. “Jika ada hal tersebut dan terkonfirmasi, maka si anak berarti menjadi korban bullying. Orangtua dan sekolah harus segera bergerak cepat untuk melindungi korban, juga mendalami motif pelaku.” Tindakan untuk Pelaku Perlu ada tindakan pula terhadap pelaku perundungan. Jika diperlukan, orangtua atau pihak sekolah bisa meminta bantuan aparat keamanan atau kepolisian. “Pelaku yang merasakan kepuasan dengan melakukan bullying, maka harus dihukum agar jera dan tidak melakukan kekerasan kembali. Hukumannya harus lebih berat daripada rasa puas yang ia miliki,” kata Ilham yang juga konselor psikologi ini. Meskipun menurut undang-undang pelaku masih dianggap di bawah umur, Ilham menganjurkan tidak cukup hanya dengan bimbingan. Tetap harus diberi hukuman. “Saya menganjurkan agar pelaku kekerasan, yang dalam undang-undang disebut di bawah umur, harus diberikan hukuman dan bimbingan. Bukan hanya bimbingan saja,” ujar alumnus Pesantren Tebuireng Jombang ini. Selain itu, orangtua, sekolah, lembaga pendidikan, masyarakat, juga media massa harus secara terus-menerus mengingatkan anak-anak agar menghindarkan diri dari perilaku kekerasan dan menjaga diri dari potensi menjadi korban.*/Pambudi
Karakteristik Agama Islam dan Pokok Keimanan

KARAKTERISTIK AGAMA ISLAM DAN POKOK KEIMANAN Oleh: DR. Ahmad bin Abdurrahman Al-Qaadhi Allah telah menjadikan Al-Quran mencakup semua yang dibutuhkan oleh hamba-hamba-Nya, baik dalam akidah, ibadah, mu’amalah maupun akhlak. Allah pun menjadikan sunnah sebagai penjelas perkara global, penafsir apa yang samar, pemerinci yang bersifat umum. Akidah Islam adalah pilar agama ini, fondasinya, rahasia kekuatannya, yang membuat Islam menjadi pemenang di antara semua agama, karena Islam memiliki karakteristik yang tidak dimiliki oleh agama lainnya: Karakteristik di atas mebuahkan faedah-faedah berikut: Para ulama senantiasa semangat mencurahkan segenap kemampuan mereka untuk mengajarkan akidah Islam, ada yang menulis kitab yang tebal dan menjelaskan secara panjang lebar, ada yang menulis secara ringkas, ada pula yang pertengahan; pembahasannya tidak terlalu ringkas dan tidak terlu Panjang. Dan kitab yang saat ini sedang dibaca oleh para pembaca sekalian, adalah kitab yang pertengahan, pembahasannya jelas dan sederhana, yang runutan pembahasannya berdasarkan rukun iman yang enam, yang disebutkan dalam hadits Jibril ‘alaihissalam. Semua pembahasannya hanya mengacu kepada Al-Quran dan sunnah saja. Ini adalah kitab yang menyebutkan akidah salaf secara global, yang disertai dengan penjelasan orang-orang yang menyimpang dalam akidah itu, serta bantahan terhadap mereka, tanpa panjang lebar. Kitab ini ditulis oleh DR. Ahmad bin Abdurrahman Al-Qaadhi, dan diberi nama: العَقِيْدَةُ الْمُيَسَّرَةُ مِنَ الْكِتَابِ الْعَزِيْزِ وَالسُّنَّةِ الْمُطَهَّرَةِ “Akidah ringkas berdasarkan Al-Quran dan Sunnah.” Kami menerjemahkan kitab tersebut, dengan harapan memberikan banyak manfaat bagi para penuntut ilmu, mudah-mudah ini menjadi pemberat kebaikan bagi kita semua di akhirat kelak, hari di mana tidak ada yang dapat memberikan manfaat bagi kita, kecuali amal saleh dan hati yang baik. Pokok keimanan Fondasi akidah Islam adalah iman kepada Allah, iman kepada para malaikat-Nya, iman kepada kitab-kitab-Nya, iman kepada para Rasul-Nya, iman kepada hari akhirat dan beriman kepada takdir yang baik dan takdir yang buruk. Allah Ta’ala berfirman: لَّيۡسَ ٱلۡبِرَّ أَن تُوَلُّواْ وُجُوهَكُمۡ قِبَلَ ٱلۡمَشۡرِقِ وَٱلۡمَغۡرِبِ وَلَٰكِنَّ ٱلۡبِرَّ مَنۡ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِ وَٱلۡمَلَٰٓئِكَةِ وَٱلۡكِتَٰبِ وَٱلنَّبِيِّۧنَ “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, Nabi-Nabi.” (QS. Al-Baqarah [2]: 177) ءَامَنَ ٱلرَّسُولُ بِمَآ أُنزِلَ إِلَيۡهِ مِن رَّبِّهِۦ وَٱلۡمُؤۡمِنُونَۚ كُلٌّ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَمَلَٰٓئِكَتِهِۦ وَكُتُبِهِۦ وَرُسُلِهِۦ لَا نُفَرِّقُ بَيۡنَ أَحَدٖ مِّن رُّسُلِهِۦۚ “Rasul telah beriman kepada Al Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan Rasul-Rasul-Nya.” (QS. Al-Baqarah [2]: 285) يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ ءَامِنُواْ بِٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ وَٱلۡكِتَٰبِ ٱلَّذِي نَزَّلَ عَلَىٰ رَسُولِهِۦ وَٱلۡكِتَٰبِ ٱلَّذِيٓ أَنزَلَ مِن قَبۡلُۚ وَمَن يَكۡفُرۡ بِٱللَّهِ وَمَلَٰٓئِكَتِهِۦ وَكُتُبِهِۦ وَرُسُلِهِۦ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِ فَقَدۡ ضَلَّ ضَلَٰلَۢا بَعِيدًا “Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.” (QS. An-Nisa [4]: 136) إِنَّا كُلَّ شَيۡءٍ خَلَقۡنَٰهُ بِقَدَرٖ “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” (QS. Al-Qamar [54]: 49) Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menjawab Jibril ketika ditanya tentang iman: أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّهِ، وَمَلَائِكَتِهِ، وَكُتُبِهِ، وَرُسُلِهِ، وَالْيَوْمِ الْآخِرِ، وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ، خَيْرِهِ وَشَرِّهِ “Iman adalah engkau beriman kepada Allah, iman kepada para malaikat-Nya, iman kepada para Rasul-Nya, iman kepada hari akhirat dan beriman kepada takdir yang baik dan takdir yang buruk.” (HR. Muslim, no. 8 dari Umar radhiyallahu ‘anhu)